Terima kasih Cinta Pertama
Aku
memilikinya. Kisah yang menyedihkan tetapi kisah itu membuatku berbangga ketika
aku menceritakannya kepadamu. Maka dengarkanlah kisahku ini. Aku memilki cinta
pertama, sebut saja demikian. Dia seorang wakil ketua OSIS dimasanya. Usiaku
waktu itu baru beranjak 16 tahun. Dia wakil ketuannya, aku sekertarisnya. Aku
ketua kelas, dia wakilku. Kelas VIII C yang aku ingat. Banyak pertikaian antara
aku dan dia. Sehari akur, hari lainnya saling mencerca. Jujur saja aku tak
ingat apa yang kami perdebatkan kala itu, hanya saja pertengkaran kami membuat
kami semakin dekat. Jangan mengira aku menyukainya karena seringnya aku dan dia
beda pendapat ya. Bukan itu.
Aku pikir
perasaanku tumbuh karena rasa bersalahku padanya. “Mau ga jadi pacarku?”
tanyanya ditengah pengisian SKU untuk Penggalang (salah satu tingkatan dalam
pramuka), tengah malam, aku ingat sekali sekitar jam 1 dini hari tanggal 14
Agustus 2006. Aku tertawa, teman-teman yang lainpun tertawa. Aku mengganggapnya
hanya sebagai candaan saja. Maklumlah kami sudah teman dekat, pertikaian
kamipun lama-lam berkurang. Hanya saja dihari yang lain dia menanyakan
pertanyaan yang sama dan terus memburu jawabanku. “Ok, kita pacaran tetapi itu
hanya status saja ya” jawabku. Dia mengiayakan. Benar saja, pacaran kami
hanyalah status saja, tidak ada yang tau perihal kami pacarak kecuali teman
sebangku (ya.. paling tidak aku memiliki teman untuk berbagi cerita
sehari-hari).
Tujuh
belas agustus ditahun yang sama, “Win, udahan ya!”. Aku berteriak ditengah
lapangan upacara kemerdekaan itu. Seruanku dijawabnya dengan anggukan, pertanda
iya mengiyakan seruanku. Jujur saja aku tidak memiliki perasaan apapun
untuknya. Rasa suka seperti apa saja aku tidak tau hingga aku mulai
memikirkannya, bertanya keadaaannya dan kehadirannya sangat menolongku saat
itu. Jika hal-hal itu adalah definisi aku menyukainya, aku pikir aku
menyukainya. Perasaanku makin tak karuan ketika aku mendengarnya sakit. Aku tak
kuasa tidak melihatnya. Aku ingin segera menemuinya. Aku pandai menahan
sesuatu, termasuk perasaan itu. Tidak ada diantara temanku yang menyadarinya
bahwa aku tengah jatuh cinta. Allah berbaik hati, disaat rasa rinduku kian
banyak, disaat itu aku diajak pembina OSIS menjenguknya. Aku melihatnya, aku
tak bertanya, menemuinya adalah hal yang benar.
Setahun
berlalu, aku melanjutkan ke sekolah menengah atas. Dia, tidak melanjutkan
sekolah karena masih sakit. Aku kehilangan kontak dengannya, saat itu baik aku
maupun dia tidak memiliki telpon. Aku hendak mencarinya, tetapi tertahan. Aku
sudah mengatakannya bahwa aku pandai menahan sesuatu. Allah berbaik hati
lagi,”Cha, tadi dicari sama anak X.8”. Aku mengabaikannya sampai beberapa lama.
Anak itu kemudian mencariku lagi. Aku menghampirinya. Ternyata dia sepupu orang
aku suka (Win). Win mencariku, dia menitipkan salam kepada sepupunya. Aku pikir
aku inilah kesempatanku. Aku meminta kontak Win dari sepupunya dan aku
memberikan kontakku pada sepupunya. Malamnya Win mengirim SMS kepadaku. Aku
senang sekali. Bagaimana ya, pokoknya senang saja. Hubungan kami semakin dekat
hingga dia memintaku kembali menjadi pacarnya. Aku seharusnya senang tetapi
yang aku rasakan adalah rasa sedih yang tak terkira. Sakit rasanya. Allah
sedang mengujiku, pikirku. “Dan janganlah kamu mendekati zina,...” (17:32)
sebuah potongan ayat dalam Al.Qur’an itu serasa mencambukku. Bukan main-main
rasa sedihnya.
Saat itu
aku agak menyesali sesuatu, kenapa aku mengikuti acara itu (read: malam
bimbingan takwa). Mengapa momennya sangat pas? Jika saja aku tidak mengikutinya
makan aku tidak akan tahu ayat itu dan tentu saja aku akan bersamanya dengan
senang hati. Itulah yang aku pikirkan. Aku memikirnya sampai saat ini. Baiklah,
setelah melakukan pemikiran panjang aku menolaknya. “Win, maaf. Jika aku
mengabaikan perintah-Nya. Bukan tidak mungkin jika aku akan mudah
menghianatimu. Kubiarkan kau pergi saat ini”. Ah.. bak sebuah drama yang tak
berujung. Aku selalu memikirkannya. Benarkah yang aku lakukan ini? Penyesalan
ini akankah berakhir? Tidak. Penyesalan itu masih tersisa jauh dalam lubuk
hatiku. Adakah kesempatan aku bertemu dengannya lagi?.
Satu
tahun kemudian aku mendengar bahwa dia melanjutkan sekolah di sekolah menengah
kejuruan. Sekolahku dengan sekolahnya tidak terlalu jauh. Bukankah ini adalah
sebuah penghiburan. Pertanyaan yang terakhir kali sepertinya akan terjawabkan.
Benar saja, aku beberapa kali melihatnya dipinggir jalan itu, ya sebrang jalan
tepatnya. Dia tengah menunggu temannya. Sesekali angkot yang aku tunggangi
berhenti. Aku selalu ingin dia bisa menyebrang dan menaiki angkot yang aku
tumpangi. Aku ingin melihatnya dari dekat. Sayang, tak sekalipun dia naik.
Apakah masih terlalu pagi? Mungkin saja. Beberapa kali aku terlambat ke sekolah
karena aku sengaja mengepaskan jam berangkat sekolahnya. Pernah satu kali aku
tak diizinkan masuk sekolah. Menyesal? Tidak. Aku tidak merasakan penyesalan
itu. Bodoh sekali bukan?
Hari itu,
ketika aku duduk di kelas X aku bertemu dengannya di angkot. Aku melihatnya
tetapi hanya terdiam. Aku melihatnya lagi dan lagi. “apa kabar?” inginku sapa
dia dengan itu tetapi aku merasa suasana ini sangat canggung. Sudah mulai
mendekati sekolahnya dan dia sebentar lagi turun. “apa yang harus kulakukan?”
tanyaku dalam hati. “Cha, cutek amat, masih inget kan?” tanyanya sebelum dia
turun. Aku hanya menganggukkan kepala saat itu. Aku sebenarnya sedikit
menyesal. Kenapa tidak kuajak dia berbicara sepanjang perjalanan. Ah.. jika aku
tau hari itu adalah terakhir kali aku bertemu dengannya sampai saat ini, tentu
tidak akan aku sia-siakan waktu itu. Begitulah waktu berjalan dengan cepatnya
hingga aku memasuki kuliah.
Sepanjang
kuliah aku tidak melihat seorang laki-laki pun, aku masih mengharapkannya
berkata, “maukah kau membersamaiku lagi?”. Jiwa pemberanikupun muncul, aku
ingin menghampirinya lebih dulu, aku ingin menanyainya lebih dulu, seperti
Khadijah kepada Nabi Muhammad saw. Niatku sudah bulat, aku berencena
menyelesaikan S1 ku terlebih dahulu kemudian menghampirinya. “Allah, semoga
Engkau ridha”. Aku bersemangat menyelesaikan studiku sampai suatu waktu diliburanku ke-7. “Dia
sudah menikah, dua bulan yang lalu, maaf katanya ga bisa ngundang kamu” kata
sepupunya kepadaku. “Oh” jawabku singkat lalu masuk ke rumah. Aku terlambatkah?
Atau memang sudah takdir bahwa dia bukanlah jodohku. Begitulah cinta pertamaku
berakhir.
Selamat tinggal cinta
pertama..
Selamat tinggal cinta
pertama. Aku sering mengatakannya secara berulang. Tidak sekarang, pikirku.
Aku sering menjawab
pertanyaan yang sama. "ada"..
kemudian berlanjut
kepertanyaan selanjutnya, "siapa? teman S1, S2?"
Tentu saja aku
menggelengkan kepala.
Aku
menyesalinya.
Aku menyesal
melepaskan seseorang yg sangat aku sukai.
Aku menyesalinya.
Bahkan hingga
sekarang.
Bukan cintaku tak
berbalas.
Bukan.
Hanya saja terpentok
pada Q.S. 17:32.
Sebuah ayat sakti yg
menyelamatkan.
Bukan karena aku naif.
Ini adalah sebuah
komitmen yg aku bangun. "Kenapa kau tidak menikah saja dengannya?"
Pertanyaan selanjutnya.
Pernikahan, bukanlah
sesuatu yg bisa dipikirkan oleh remaja 17 tahunan.
Bahkan untuk
sekarangpun demikian.
Satu dekade berlalu,
aku masih saja berpikir keras tentang itu.
Aku menyesalinya.
Saat kukatakan tidak
untuk menjadi pacarmu.
Saat inipun masih
begitu.
Aku diuji kembali.
Ketika housemate
pacaran sejak sekolah menengah pertama kemudian merencanakan menikah..
Ah..
Kenapa aku tak
menerimanya saat itu?
Mungkin saja kami
seperti mereka.
Langgeng hingga
bertahun-tahun.
Aku iri.
Satu dekade memang
bukan waktu yg sebentar.
Banyak yang telah
berubah.
Perasaanku masih sama.
Sama menyesalnya
dengan 10 tahun lalu.
Jika saat ini adalah
konsekuensi atas apa yang telah aku lakukan, aku menyukainya.
Ini sangat
menyenangkan.
Egoku, emosiku dan
nafsuku.
Bukankan kau akan
berbangga ketika kau dapat mengendalikannya?
Jika apa yg aku
rasakan selama sepuluh tahun terakhir ini adalah akibat dari perbuatanku, aku
menerimanya.
Rasa sukaku padanya
sangat besar, tetapi aku mendapati diri ini sangatlah penakut.
Malu malu kucing.
Mendambakan seseorang.
Berakhir menjadi
pengagum rahasia.
Aku tidak percaya aku
melewati masa-masa itu.
Terima kasih cinta
pertama.
Kau mengajariku banyak
hal.
Meninggalkanmu adalah
benar.
Meski meninggalkan
penyesalan yg mendalam..
"Selamat tinggal
cinta pertama"
Semoga ini terakhir
kalinya.
Satu hal lagi.
Terima kasih telah
membuatku tidak melihat mereka.
Laki-laki baik.
Komentar
Posting Komentar