Tidak gratis berarti berbayar? Lalu apakah yang harus dibayar untuk sebuah kebahagian? (bagian 3)


“Oriz, tolong dengarkan aku kali ini. Aku tak mengharapkan simpati darimu. aku hanya mengharapkan sedikt perhatianmu. Aku hanya meminta sedikit saja darimu. Kamu tentu tau bahwa aku adalah orang sangat menyedihkan didepanmu. Aku menyadari itu karena kau adalah satu-satunya manuasia yang bahkan aku tak bisa menyembunyikan apapun. Aku juga tak bisa berbohong kepadamu. Segala cara aku lakukan untuk bersikap wajar dihadapanmu. Seperti yang telah aku lakukan kepada semua orang. Kau pernah bertanya tentang impianku bukan? Sudah lama tapi tak sempat aku jawab. Saat itu aku terlalu sibuk dengan sesuatu yang menurutku sekarang membuang waktuku sangat banyak. Terus terang saja aku katakan padamu bahwa sesungguhnya aku hanya ingin hidup bahagia dengan orang-orang yang aku sayang. Apakah itu sukses? Apakah itu melaju? Aku tak pernah mengerti sampai saat kau mengajarkan dan menunjukkanku bahwa hidup bahagia bukanlah sesuatu yang gratis. Hidup bahagia ibarat buah dari apa yang kita tanam.
Aku sepakat dengan pernyataanmu Oriz. Aku ini apa? Manusiakah? Aku bahkan tak tau cara menjadi menusia yang baik. Aku bahkan menyakiti diriku sendiri. Aku hanya seseorang yang memiliki banyak topeng. Tak pernah jujur dengan apa yang aku rasa dan lihat. Lalu, aku harus bagaimana? Maafkan aku, dihadapanmu aku benar-benar tak bisa tak jujur dan terima kasih kau telah menjadi satu-satunya orang yang bisa aku tunjukan wajahku apa adanya. Tanpa senyuman manis barangkali atau dengan berurai air mata. Nyatanya aku tak pernah menyesal menunjukan wajah asliku padamu. Aku tak mengerti untuk alasan apa aku bisa bertindak seperti itu terhadapmu. Hanya, aku percaya bahwa Allah selalu memberikan perantara hambanya untuk bersandar dan menerima sebuah nasihat. Aku percaya Dia tak akan menyia-nyiakanku. Aku akan selalu dalam lindungan-Nya. Aku sangat percaya. Jadi, mau kah kau mendengarkanku kali ini?”
Geleng-geleng kepala aku dengerin dia ngomong panjang hanya untuk sebuah pertanyaan. Ga waras kali ya? Didengarkan atau tidak olehku, apakah itu akan berpengaruh padanya? Tak bisa dimengerti, benar-benar membuatku prustasi. Baik, silakan berbicara sesukanya tapi jangan harap tanggapan positif dariku. Jangan pernah mengharapkan apa-apa dariku. Bukan salahku jika aku mengatakan demikian karena dari awal aku sudah mengatakan bahwa aku terlalu sibuk untuk mencampuri urusan orang lain. Aku juga tidak akan meminta maaf kepadanya. Ucapan terima kasihpun tidak akan aku lontarkan kepadanya. Catat Meta, aku mulai tertarik padamu bukan berarti aku peduli. Aku masih ada ditempat yang sama. Membersamaimu? Baik, aku akui bahwa aku tak bisa menjauhkan diri darinya.
“Terima kasih dengan jawaban panjang dan menusukmu. Anehnya aku merasa sedikit perhatianmu padaku. Oriz, kamu tau benar apa yang telah aku lakukan ini adalah hal yang tidak benar. Usiaku kini 23 tahun, aku telah dewasa sekarang. Aku bukan lagi anak remaja yang dibutakan oleh cinta. Aku tidak lagi mengaharapkan hal yang tidak berguna. Aku belajar darimu tentang cita-cita yang harus aku raih. Sekarangpun aku telah lulus dari sebuah universitas . Seperti impianmu, kaulah yang mendorongmu sampai sejauh ini. kata-kata kasarmu, olokan-olokan yang tak berdasar dan sering kali membuatku berada disudut tergelap tidak lantas membuatku jatuh terpuruk. Bahkan aku mulai sadar bahwa aku tidak harus diremehkan orang lain terlebih olehmu. Aku heran untuk sekian kali kenapa aku ingin terlihat baik, paling tidak dihadapanmu. Jangan pernah bertanya tentang itu, aku bahkan yang melakukan tidak tau apa jawabannya.
Aku ingin menceritakan ini kepadamu, sebagai seseorang yang sangat dekat. Disini aku kesakitan, setiap kali bagian ini selalu menyebut namanya. Aku menangis seperti yang sering kau lihat beberapa tahun ini. Aku tak bisa mengendalikannya, aku merasa lelah. Kau tau, jika saja Allah melewatkanku barang sedetik saja, aku tak yakin bahwa aku masih waras. Saat ini sudah 8 tahun berjalan namun hati ini masih saja sama. Aku harus bagaimana? Apakah aku harus tetap menunggunya? Kau bilang aku melakukan hal yang sia-sia dan buang-buang waktu, maka ajarkan aku sepertimu? Ajarkan aku menatap masa depan seperti kau memandang dan memujanya. Kau memang bukan temanku, bukan pula seseorang yang benar-benar aku andalkan. Tetapi, hati ini terlalu kecil untuk melangkah. Maka ajarkan aku hidup dengan tanpa membebani siapapun. Tidak aku ataupun kau. Hanya hidup menuju sesuatu yang tidak gratis yaitu hidup bahagia”

Hidup bahagia memang tidak gratis. Butuh perjuangan untuk mencapainya. Jika dia masih saja berleye-leye dalam hidup, maka jangan harap dia mendapatkan kehidupan yang bahagia. Jika dia masih saja kalah dengan persaannya, jangan harap bisa menuju puncak layaknya matahari saat ada tepat diatas diubun-ubun manusia. Bagiku, duaniaku penuh dengan kerja keras. Dia tentu mengenalku lebih baik dari setiap kebersamaan kami. Dari sekarang, bisakah aku berharap bahwa suatu waktu dia mendapat bayaran dari segala kesedihannya?

Komentar

Postingan Populer