Langkah Besar Menuju sebuah Cita
“Tuntutlah ilmu sampai ke negri Cina”
Tanggal 12 juli
saya tiba di sini, di kampung Fafanlap. Setibanya disini, aku belum bisa
melakukan apa-apa. Hari itu hanya aku habiskan disebuah ruangan pondokan yang
kemudian aku menyebutnya kamar. Alasan
habis melakukan perjalanan jauhlah yang aku jadikan tameng untuk berlama-lama
berada dalam kamar. Hari pertama terasa nyaman dengan situasi tersebut. Hari
berikutnya aku merasa bosan jika terus-terusan beristirahat. Hari itu juga aku
memutuskan untuk keluar pondokan.
Barangkali aku
kurang beruntung disini. Pasalnya, disini tak boleh kemana-mana kalau tak ada
yang menemani. Bagiku yang terbiasa sendiri, peraturan ini sangat merepokan dan
aku sangat merasakan gerakku dipersempit. Hanya, aku ingat bahwa Allah selalu
menjaga hamba-hamba-Nya. Aku menganggap hal ini salah satu bentuk penjagaan
Allah terhadapku. Seperti halnya rizki yang datang dari arah yang tidak
diduga-duga, begitupun dengan penjagaan Allah.
Hari kedua aku
disini , aku dan salah satu rekan KKN berjalan-jalan di Darmaga. Tak banyak
orang yang aku temui disana karena ketika kami kesana, senja telah menjelang.
Menuju kepulangan kami, kami bertemu dengan seorang anak bernama Larival. Dia
berumur 14 tahun dan duduk dibangku SMP kelas 2. Dia seumuran adik laki-lakiku.
Perawakannya mengingatkan sosok adik yang telah lama aku nanti pertemuan
dengannya. Tinggi, kurus, dan bicara seperlunya.
Bersama dengan
sepedanya dia duduk didekat pintu Darmaga. Kami menghampiri dia. Dia malu-malu
ketika kami sapa. Dia hanya menanggapi setiap pertanyaan kami dengan singkat.
Dimata kami saat itu, dia merupakan sosok yang setiap ucapannya ditunggu untuk
didengar.
Dia berasal dari
Buton, Sulawesi. Ayah ibu berpisah sejak ia kecil. Entah apa yang membuat kedua
orang tuanya berpisah. Larival tak pernah tau itu. Ketika keduanya berpisah,
Larival kecil berada dalam asuhan ibundanya, sedang ayahnya merantau ke Papua,
tepatnya di kampung Fafanlap pulau Misool, Papua Barat.
Pada usianya
yang ke delapan tahun, Larival menyusul ayahnya ke tanah Papua. Dia dan
sepupunya berlayar dari Buton ke Pulau Misool dengan menggunakan sebuah kecil.
Aku tak tau seperti apa perahu yang dimaksud Larival. Apakah seperti Body? Ataukah seperti Ketingting? Yang jelas tidak akan
sebesar kapal Fajar Indah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia dan
sepupunya berlayar mengarungi lautan Indonesia Timur. Tidak terbayang ombak
yang mereka rasakan, tak terbayang air laut yang tertelan dan tak terbayang
bagaimana mereka bisa bertahan terombang-ambing ditengah laut hanya dengan
sebuah perahu kecil dan bekal seadanya selama 5 hari.
Perjalanan
selama 5 hari ternyata tak mengantarkan ia pada ayahnya. Lima hari hanya
mengantarkan ia sampai Sorong saja. Aku
kira setelah sampai Sorong, mereka akan langsung melanjutkan perjalanan menuju
Fafanlap. Ternyata tidak. Menurut pemaparannya, dia dan sepupunya harus mencari
bekal dulu di Sorong untuk melanjutkan perjalanan menuju Fafanlap.
Aku mendengarkan
setiap kata yang terucap. Akupun sedikit memperhatikan emosi yang dia tampakkan
ketika ia bercerita. Aku takjub dengan keberaniannya. Dari kisah ini aku yakin
akan satu hal. Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita mau berusaha. Hari itu,
hari-hari Larival kecil dan sepupunya terombang-ambil diatas perahu kecil 5
hari lamanya telah membuktikannya. Segala perjuangannya kini membuahkan hasil.
Dia sampai dan mendapatkan keinginannya.
Aku tak tau
persis tentang motivasi yang ia bawa. Ia hanya memberikan sebuah alasan
sederhana yang membuatku tertegun dan kagum untuk sekian kalinya. Aku juga
sempat merasa malu akan kedewasaannya. “Saya ingin sekolah ka. Anak seperti
saya ini mana bisa sekolah disana. Disini sekolah gratis jadi saya bisa
sekolah. Disana anak-anak seusia saya hanya bisa bermain-main ka”. Jawabnya
singkat ketika aku bertanya tentang dorongannya menyusul sang ayah ke Fafanlap.
Ketika aku bermalas-malasan bersekolah
Kau mengarungi lautan untuk merasakan
kesejukan ilmu
Ketika aku menganggap sekolah tak
penting
Kau korbankan seluruh yang kau punya untuk
menggapai cita
Mimpi menjadi seorang tentara
Mimpi untuk mempertahankan Indonesia
Semoga kau dapat menggapainya
Kisah ini membuat hatiku tersentuh
Terima kasih Larival
Semoga kau tetap pada cita-citamu
Segala
keterbatasan yang ia punya bukanlah sebuah kendala, dengan keterbatasannya ia
tetap maju untuk sebuah cita-cita. Semangat untuk menjadi lebih baik dari
rekan-rekannya di Buton membuatnya membuka lembaran-lembaran kisah baru di
Fafanlap. Serpihan kisahnya semoga menjadi pembelajaran untuk setiap orang yang
membaca kisah ini.
“
Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai
atap,dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu (QS. Al. Mu’min, 40:64)”
Kisah
ini ditulis tanggal 31 Juli 2014
Dikampung
yang akan selalu aku rindu.
Komentar
Posting Komentar